PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap
PPh Pasal 21 Pegawai Tidak
Tetap
Berikut ini akan dibahas mengenai tata cara, tarif dan contoh penghitungan
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau
upah yang dibayarkan secara bulanan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009.
Ø Dasar hukum
Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun
2009
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
PelaksanaanPemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa,
Dan Kegiatan Orang Pribadi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK. 03/2008 tentang Penetapan
BagianPenghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan Pegawai Harian Dan Mingguan Serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
Ø Pengertian Pegawai Tidak Tetap
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari
bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu
jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Ø Jenis Penghasilan Pegawai Tidak Tetap
Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau
upah yang dibayarkan secara bulanan;
1. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai
yang terutang atau dibayarkan secara harian.
2. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai
yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
3. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai
yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang
dihasilkan.
4. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai
yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan
tertentu.
Ø Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21
pegawai tidak tetap adalahPenghasilan
Kena Pajak yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatif
penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah
PTKP sebulan untuk wajib pajak sendiri.
Jumlah penghasilan
yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan (
Rp 150.000,00 sehari),
sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender
belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
Ø Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tidak tetap
adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP sebulan adalah PTKP dibagi 12 (dua belas).
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah bagi:
Wajib Pajak : Rp
15.840.000,- setahun
Tambahan
status kawin : Rp
1.320.000,-
Istri
Bekerja : Rp 15.840.000,-
Tambahan
tanggungan : Rp 1.320.000,- (Maksimal 3)
Ø Bagian Penghasilan yang Tidak
dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21
Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan
Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai
Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan:
Batas
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sampai dengan jumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari
Ketentuan di
atas tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto jumlahnya melebilhi Rp 1.320.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan
dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.
Ketentuan di
atas tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang
dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.
Ø PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak di
bayar secara bulanan
Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas yang tidak di bayar secara bulanan atau jumlah
kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk
diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau
rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh
ribu rupiah) sehari;
2. Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau
rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu
rupiah), dan bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan tersebut
merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
3. Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan
atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
4. Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam
1 (satu) bulan kalender yang melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak
sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
sebesar PTKP yang sebenarnya.
5. PTKP yang sebenarnya adalah
sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah
sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
6. Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban
untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dalam
program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua
atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap
kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara
tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Ø Tarif PPh Pasal 21
Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari Pegawai tidak tetap atau tenaga
kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah
borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara
bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (5%) diterapkan atas:
jumlah penghasilan bruto di atas bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan ; atau
jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang
sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender
telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah
melebihi Rp 6.000.000,00 ( enam juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
Ø Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang
saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan:
1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata/uang saku yang
diterima atau diperoleh dalam sehari; – Upah/uang saku mingguan dibagi 6;
2. Upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam
sehari;
Upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan.
3. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum
melebihi Rp. 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam
bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000, maka tidak ada PPh
Pasal 21 yang harus dipotong.
4. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah
melebihi Rp. 150.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau
diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,
maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau
rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp. 150.000,00, dikalikan 5%.
5. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan
takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp. 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang
terutang dihitung dengan mengurangkan PTKP yang sebenarnya, yaitu sebanding
dengan banyaknya hari, dari jumlah upah bruto yang bersangkutan.
Contoh PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai
tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak
dibayarkan secara bulanan
a. DENGAN UPAH
HARIAN
Contoh penghitungan : Arifin dengan status belum menikah.pada bulan Januari 2009 bekerja sebagai
buruh harian pada PT Jaya Makmur. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah
harian sebesar Rp 150.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
terutang :
Upah sehari Rp 150.000,00
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh Rp 150.000,00
Penghasilan Kena Pajak Sehari Rp 0
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah Sehari : Rp 0
Sampai dengan hari ke-8, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum
melebihi Rp 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
Misalkan Arifin bekerja selama 9 hari, maka pada hari ke-9, setelah jumlah
kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21
terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.
Upah s.d. hari ke-9 (Rp 150.000,00 x 9) Rp 1.350.000
PTKP sebenarnya (Rp 15.840.000 x 9/360) Rp 396.000
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-9 Rp 954.000
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-9 Rp 954.000 x 5% Rp 47.700
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-8 Rp –
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-9 Rp 47.700
Sehingga pada hari ke-9, upah bersih yang diterima sebesar
:
Rp 150.000,00 – Rp 47.700 = Rp 102.300,00
Misalkan Arifin bekerja selama 10 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong pada hari ke-10 adalah sebagai berikut :
Upah s.d. hari ke-10 (Rp
150.000,00 x 10) Rp 1.500.000
PTKP sebenarnya (Rp 15.840.000 x 10/360) Rp 440.000
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-10 Rp 1.060.000
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-10 Rp 1.060,00 x 5% Rp 53.000,00
PPh Pasal 21 telah dipotong s.d hari ke-9 Rp 47.700,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-10 Rp 5.300,00
Sehingga pada hari ke-10, Arifin menerima upah bersih sebesar
:
Rp 150.000,00 – Rp 5.300,00 = Rp 144.700,00
b. DENGAN UPAH SATUAN
Contoh penghitungan :Tono adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai
perakit TV pada suatu perusahaan elektronika, dia tidak menikah.Upah yang
dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp
25.000,00 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu.Dalam waktu 1 minggu (6 hari
kerja) dihasilkan sebanyak 30 buah TV dengan upah Rp 960.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 :
Upah sehari adalah Rp 960.000,00 : 6 Rp 160.000
Upah diatas Rp 150.000 sehari
Rp 160.000,00 – Rp 150.000,00 Rp 10.000
Upah seminggu terutang pajak 6 x Rp 10.000,00 Rp 60.000
PPh Pasal 21 5% : Rp
60.000,00 = Rp 3.000,00 (Mingguan)
c. DENGAN UPAH BORONGAN
Contoh Penghitungan : Bayu mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp
400.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah borongan sehari : Rp
400.000,00 : 2 = Rp 200.000
Upah harian diatas Rp
150.000
Rp 200.000,00 – Rp 150.000,00 Rp 50.000
Upah borongan pajak 2 x Rp 50.000,00 Rp
100.000
PPh Pasal 21 5% x Rp 100.000,00 = Rp 5.000
Pengertian PPh Pasal 25
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu
periode tertentu yang dinamakan tahun pajak.Berdasarkan hal ini, maka
perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam
SPT Tahunan.Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka
penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar
semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui.Untuk perusahaan, tentu
saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar
baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran
pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah
mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan.
Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Cara Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada
umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun
sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan
penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan
kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun.
Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya
menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak
meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang
menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak
Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan
dalam bagian tahun pajak.
Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang 50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan
24 35.000.000
Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai
berikut :
Pajak Penghasilan
terutang 50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan
24 35.000.000
Selisih 15.000.000
PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12
= 1.250.000
PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT
Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu
penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25
bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun
kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum
batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan
demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh
Pasal 25 bulan Desember 2007.
PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun
Pajak Yang Lalu
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk
tahun pajak yang bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP
PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya
angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain
apabila :
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah
lewat batas waktu yang ditentukan;
3. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
Tahunan Pajak Penghasilan;
4. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
pembetulan.
Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak
dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor
Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.
PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu
Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN,
BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keputusan Menteri Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002
Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak
Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha
Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan Wajib
Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 sudah tidak berlaku
lagi.Ketentuan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
255.PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 208/PMK.03/2009.
a. Berdasarkan
pasal 17 Undang-undang No.36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan :
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 25 %
(dua puluh delapan persen) dikalikan Penghasilan Kena Pajak.
b. Berdasarkan
pasal 31 E Undang-undang No.36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan :
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
c. Untuk keperluan penerapan tarif pajak jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam
ribuan rupiah penuh.
Penerapan Tarif PPh Badan Tahun 2011 dalam perhitungan PPh Terutang :
a. Untuk Peredaran Usaha Bruto Sampai dengan Rp.4.800.000.000,- tarif PPh Badan dikenakan sebesar 25 % x 50 % x Penghasilan Kena Pajak
Contoh perhitungan Lihat :
Contoh Perhitungan PPh Badan Tahun 2011 Untuk Peredaran Usaha Bruto sampai
dengan Rp.4.800.000.000,-
b. Untuk
Peredaran Usaha diatas Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan Rp.50.000.000.000,- tarif PPh Badan dikenakan sebesar :
1. Bagian Peredaran Usaha Bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,- :
25 % x 50 % x Penghasilan Kena Pajak (bagian Peredaran Usaha
BrutoRp.4.800.000.000,-)
2. Bagian Peredaran Usaha Bruto diatas Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan
Rp.50.000.000.000,-
25 % x Penghasilan Kena Pajak (bagian Peredaran Usaha Bruto diatas
Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan Rp.50.000.000.000,
Contoh perhitungan Lihat :
Contoh Perhitungan PPh Badan Tahun 2011 Untuk diatas Rp.4.800.000.000,-
Sampai dengan Rp.50.000.000.000,-
c. Untuk Peredaran Usaha Bruto diatas Rp.50.000.000.000,- tarif PPh Badan dikenakan sebesar :
25 % x Penghasilan Kena Pajak
Contoh perhitungan Lihat :
Contoh Perhitungan PPh Badan Tahun 2011 Untuk Peredaran Usaha Bruto diatas
Rp.50.000.000.000,-
No comments:
Post a Comment